Sebagai orang yang baru mulai menatap karier di sepak bola lewat jalur kepelatihan, Indra muncul sebagai sosok yang menjanjikan. Ini terlihat dari sikapnya yang rendah hati, dan lebih dari itu dia ulet, tekun serta mau belajar. Dalam kekeringan stok pelatih, terutama di level usia muda di belantara sepak bola nasional, Indra memanfaatkan momentum tersebut guna mengembangkan dirinya.

Indra serius menimba ilmu dari siapa saja, bahkan kepada orang yang mungkin pengetahuan bolanya di bawahnya, dia mengajak untuk berbincang tentang sepak bola dari berbagai aspek. Keluarga dilupakan untuk sementara, apalagi soal waktu dan materi, tentu sudah tidak terhitung pengorbanannya. Di balik semua itu, hanya ada satu tujuan di benaknya, dia harus menjadi seorang pelatih yang diakui di kancah sepak bola nasional, minimal.

Harapan untuk menggapai impiannya mulai terlihat, ketika Djohari Arifin Husein menduduki kursi orang nomor satu di PSSI sebagai buah dari revolusi sepak bola yang digagas Arifin Panigoro. Indra yang menetap beberapa bulan di penginapan yang diberikan oleh Arifin Panigoro di Jakarta, mulai mencuri hati dan perhatian Bob Hippy.

Lewat Bob Hippy yang ditunjuk PSSI sebagai Direktur Pengembang Usia Muda, Indra diberikan kepercayaan membentuk tim nasional U-19. “Pak Yes, kira-kira siapa ya yang kita percaya untuk memimpin timnas usia muda? Begitulah kira-kira kalimat yang dilontarkan Bob Hippy meminta pendapat dari saya. “Indra Syafrie pak Bob. Hanya, dengan catatan, tolong berikan dia keleluasan dalam bekerja, mulai dari mencari pemain sampai membentuk tim, jangan ada intervensi dari siapa pun,” jawaban saya kepada Bob Hippy.

Indra pun akhirnya memberikan sebuah gelar dari tim U-19, dan dipercaya memimpin timnas di SEA Games Manila tahun lalu, meski gagal mengapai medali emas. Saat ini, Indra bahkan dipercaya Ketua Umum PSSI, Mochamad Iriawan yang biasa disapa Ibul untuk menduduki kursi Direktur Teknik (Dirtek) Tim Nasional, sebuah posisi vital dan strategi dalam pengembangan sepak bola sebuah federasi.

Idialisme dan materi

Menjadi pelatih usia muda, pelatih senior, dan menduduki posisi Dirtek, semua sudah direngkuh Indra. Lalu, apa lagi yang kamu cari? Masih adakah idialisme membangun sepak bola Indonesia ke arah yang benar. Atau idialisme itu telah disapu habis dan terkubur dalam-dalam berganti mengejar materi? Saya, dan mungkin semua insan sepak bola nasional yang mengenal Indra, tentu tidak berharap demikian.

Abang saya, Andi Darusasalam Tabussalah yang juga tokoh sepak bola nasional, dalam beberapa kali komentarnya di grup WA komunitas sepak bola, menyinggung kinerja Indra saat ini. “Indra itu harusnya lebih banyak waktunya ada di kantor, di Jakarta, untuk membenahi sepak bola dan tim nasional semua level sesuai jobnya. Bukan, malah menempel terus pelatih Shin Tae-yong bersama timnas U-19 berlatih di luar negeri,” kritik Andi kepada Indra.

Andi adalah orang yang selalu berkata apa adanya. Kritiknya kepada Indra tentu demi kebaikan Indra, dan sepak bola nasional. Saya pun berharap Indra menerima kritik dengan lapang dada, karena itulah Indra yang saya kenal sejak lebih dari sepuluh tahun lalu. Rendah hati dan mau belajar.

Tetapi, apakah harapan Andi, saya, dan banyak lagi insan sepak bola nasional bisa terwujud dengan perubahan sikap Indra yang lebih mengutamakan sepak bola dari kepentingan lain?

Sepertinya, ini hanya menjadi sebuah harapan dari kita semua. Indra saat ini telah menjadi sosok yang sangat tertutup, dan kehilangan jati dirinya dengan idialisme membangun sepak bola Indonesia ke depan menjadi lebih baik. Indra bukan lagi seorang pelatih sepak bola tetapi mungkin lebih tepat, politisi sepak bola. Dan, seorang politisi, tentu akan lebih mengutamakan kepentingan diri dan kelompoknya daripada yang lain.

Revolusi sikap

Kalau Presiden Joko Widodo membangun bangsa ini dengan mengetengahkan filosofi revolusi mental, maka Indra sebaiknya segera melakukan revolusi sikap terhadap diri sendiri. Masih ada waktu, dan belum terlambat untuk mengatakan: “Tidak” kepada mereka yang sadar ataupun tidak memanfaatkan diri Anda.

Dirtek timnas adalah posisi yang sama strategisnya dengan Sekretaris Jenderal (Sekjen) di PSSI. Indra mempunyai hak dan kewenangan penuh mengatur dan mengarahkan ke mana arah sepak bola nasional, dan tim nasional berkiprah.

Indra bukan seorang “pesuruh” intelek di PSSI. Tugas Indra bukan sebagai pembisik bagi Ketua PSSI, dan lebih parah lagi Anda bukan menjadi juru bicara pelatih Shin Tae-yong (STY). Itu semua terlihat terang-benderang ketika tim U-19 memulai perjalanan berlatih di Kroasia. Indra terus mendampingi STY dan tim.

Dalam semua pertandingan uji coba yang sudah dilakukan tim U-19 selama di Kroasia, Indra tidak sekalipun terlihat di layar kaca televisi. Entah ke mana dan berada di mana Indra saat pertandingan yang disiarkan langsung ke Tanah air itu berjalan.

Menjadi pertanyaan, apa yang Indra lakukan selama mendampingi tim? Toh, sudah ada STY dan ofisial pendampingnya. Indra sudah tidak dibutuhkan lagi oleh STY di sana, kecuali menjadi pembisik bagi Ketua PSSI. Mengapa Indra begitu merendahkan diri berada di tengah orang (STY) yang sejatinya sudah tidak suka kepadanya?

STY pernah memecat Indra sebagai asisten pelatih, karena ketidakdisiplinan. STY secara terus-terang mengemukakan kepada Ibul bahwa dirinya sudah tidak bisa bekerja sama dengan Indra dalam tim. Lebih parah lagi, STY menegaskan bahwa dirinya tidak suka dengan Indra. Ibul kemudian mengubah posisi Indra dari asisten STY menjadi Dirtek Timnas.

Seharusnya ketika menjadi Dirtek, Indra memfokuskan dirinya kepada pemgembangan sepak bola nasional secara menyeluruh. Mulai dari pembinaan usia muda sampai pada menghadirkan prestasi bagi tim nasional di semua level. Timnas bukan saja tim U-19 yang tengah dipersiapkan ke Piala Dunia U-20 tahun depan.

Sebagai Dirtek, Indra seharusnya mempunyai visi membangun sepakbola jauh ke depan, bukan hanya melihat dan mengurus yang di depan mata. Pembinaan dan prestasi itu digapai lewat sebuah proses jangka panjang dan berkesinambungan, dan di sanalah tugas Dirtek untuk membenahinya.

Ibul telah membuat kekeliruan dengan memposisikan Indra sebagai “mata dan telinganya” di tim U-19 saat ini. Tetapi, sebagai orang yang lebih menguasai seluk-beluknya sepak bola dan persoalan teknik, Indra harus berani mengatakan yang benar kepada Ibul.

Berada di lingkungan sepak bola nasional bukan hanya di periode kepengurusan Ibul saja saat ini. Perjalanan Indra masih sangat jauh dan panjang di belantara sepak bola Indonesia. Indra tidak perlu takut mengatakan TIDAK kepada Ibul jika itu tidak sesuai dengan nurani dan tupoksi Indra.

Bila perlu Indra mengambil sikap mundur selangkah untuk maju sepuluh langkah. Saya yakin seribu persen, Ibul tidak akan berani melepaskan Indra, jika Indra mengubah dan mengoreksi semua yang telah dilakukan Ibul dengan berbagai pelanggaran, khususnya di tim nasional saat ini.

Ibul pasti berpikir sejuta kali sebelum memecat Indra. Dan, sebelum itu terjadi, sebaiknya Indra lebih dulu mengatakan “sayonara” kepada Ibul. Itu adalah sebuah langkah lebih terhormat dan bijaksana dari Indra daripada terus menjadi orang “suruhan” intelek Ibul.

“Mundurlah ketika kamu merasa kondisi membuat kamu tertekan, dan majulah ketika keadaan membuat tenang untuk jernih mengambil tindakan”.

Sekali lagi, karier Indra bukan hanya sampai di sini, dan berakhir di periode kepengurusan Ibul. Indra masih dibutuhkan di kancah sepak bola nasional, tetapi keputusan Indra saat ini, akan menentukan arah selanjutnya kiprahnya di sepak bola. Terserah Indra untuk memilih dan memutuskan...!