Perdebatan seperti ini memang tidak akan pernah berakhir. Tetapi, fakta di lapangan, suka atau tidak suka, sepak bola dan politik tidak pernah bisa berpisah atau berjalan sendiri-sendiri. Keduanya bagaikan dua sisi mata uang, saling menempel. Karena sepak bola, pernah dua negara harus angkat senjata untuk berperang. Karena sepak bola, seseorang bisa menatap karier politiknya dengan mulus sampai jenjang yang diinginkannya.
Sejak zamannya Kardono di tahun 1980-an sampai Mochamad Iriawan atau Iwan Bule, atau Ibul, PSSI dipimpin oleh mereka yang pada dasarnya berlatar belakang militer, atau politikus dengan agenda masing-masing.
Yang terakhir, sebelum Ibul, Eddy Rahmayadi (ER) memakai kenderaan sepakbola untuk membuka jalan baginya menduduki kursi nomor satu di Sumatra Utara, yaitu gubernur. Bahkan, ambisi ER untuk menjadi orang nomor satu di Provinsi Sumut ini sudah terdengar sebelum dia dipercaya memimpin PSSI.
Tidak jauh berbeda dengan ER adalah Ibul. Ketika masih aktif di kepolisian, Ibul ramai dibicarakan di kalangan insan sepak bola nasional bahwa dia akan menjadikan sepak bola sebagai jembatan menuju Jabar 1 tahun 2024.
Saya teringat bagaimana pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ingin mereformasi sepak bola di awal tahun 2016. Ketika itu, beliau baru dua tahun kurang memimpin negara ini. Jokowi yang melihat sepak bola Indonesia sedang karut-marut dan mati suri, ingin memperbaikinya.
Salah satu konsep Jokowi dimulai dengan menempatkan orang yang sesuai untuk memimpin PSSI. “Saya ingin orang yang akan memimpin PSSI sebaiknya non-partisan, atau dari militer,” tegas Jokowi singkat.
Jokowi pasti punya pandangan yang lebih jernih ke depan. Sepak bola harus diurus oleh orang-orang yang tidak terkontaminasi urusan politik. Sebagai non-partisipan, siapa pun dia yang memimpin PSSI, pasti punya waktu yang cukup untuk mengurus sepak bola tanpa intervensi siapa pun, dan tidak untuk kepentingan partai politik mana pun.
Beberapa nama
Tidak ingin mendahului, mungkin saat ini, kita semua harus berpikir ulang untuk menyiapkan figur yang tepat menggantikan Ibul bila saatnya diperlukan. Mengikuti jejak kepemimpinan Ibul di PSSI dalam setahun terakhir, sepertinya Ibul sangat jauh dari yang diharapakan masyarakat sepak bola Indonesia untuk menghadirkan prestasi baik di dalam maupun luar lapangan sepak bola.
Terlalu banyak kelemahan yang diperlihatkan Ibul. Sampai saat ini saja, kesekjenan belum dibenahi. Sekjen yang merupakan jantung sebuah organisasi, masih dijabat sementara. Sekitar tiga bulan ke depan, PSSI sudah menggelarkan kongres tahunan.
Apakah Ibul memang begitu sulit mencari seorang Sekjen difinitif di PSSI? Statuta PSSI tidak melarang seorang Exco merangkap sebagai Sekjen, namun sudah setengah tahun lebih Yunus Nusi yang anggota Exco masih sebagai Plt Sekjen.
FIFA sendiri sangat menjunjung tinggi good governance. Akan tetapi, oleh PSSI keinginan FIFA ini diabakan begitu saja. Secara etik, moral dan good governance, tentu seorang Yunus Nusi sudah saatnya harus digantikan atau dinaikkan statusnya definitif, namun dengan catatan Yunus Nusi melepaskan posisinya sebagai anggota Exco.
Amburadulnya kesekjenan ini juga terlihat dari PSSI yang mengabaikan kewajibannya ketika memecat tujuh karyawannya di sekitar bulan Juli lalu. Sampai saat ini, ketujuh karyawan yang dipecat belum diberi pesangon. Ada tumpang-tindih Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan Ibul, dan sampai saat ini mereka yang diberi SK untuk tugas-tugas tertentu tidak tahu harus berbuat apa.
Yang terakhir, September lalu, Ibul mengeluarkan SK pembentukan Tim Satgas Inpres Nomor 3 tentang Percepatan Pembangunan Persepakbolaan Nasional (P3N). Tim ini dibentuk sesuai perintah kongres, dan tugasnya antara lain memberikan masukan bagi Exco untuk semua hal yang berhubungan dengan Inrpes No 3 tersebut.
Padahal, sebagai informasi, dalam road map (peta jalan) Inpres No 3 itu sama-sekali tidak melibatkan PSSI. Bagaimana tim Satgas PSSI ini bisa bekerja optimal, kalau dalam peta jalan itu sendiri PSSI diposisikan sebagai “orang luar”. PSSI hanya sebagai regulator, itupun kalau diperlukan.
Kembali ke sub-judul di atas, lalu siapa saja yang layak dan mendekati kriteria yang pas untuk memimpin PSSI bila segera ada pergantian kepengurusan? Ada beberapa nama yang sudah mulai diembuskan masyarakat sepakbola. Nama-nama tersebut, saat ini, sangat kencang disuarakan oleh mantan pemain nasional, voters (pemegang suara) dan stakeholder sepak bola.
Sebut saja, Moeldoko yang kini menduduki kursi Kepala Staf Presiden (KSP), Menteri PUPR Basoeki Hadimoeljono, dan I Gede Widiade. Dari ketiga nama ini, yang paling kencang dan didukung kalangan sepak bola adalah Basoeki Hadimoeljono, atau biasa disapa Pak Bas.
Keberhasilan Basoeki mendampingi Jokowi dalam enam tahun terakhir di pemerintahan sebagai Menteri PUPR yang sukses membangun infrastruktur serta sikapnya yang rendah hati dan sangat komunikatif dengan semua pihak, membuat masyarakat sepak bola jatuh hati kepadanya dan ingin beliau mendapat kepercayaan dari Jokowi untuk mereformasi PSSI.
Basoeki tidak saja menggemari sepak bola, tetapi juga non-partisan. Jika memimpin PSSI, beliau bisa bersinerji menyukseskan program Inpres No 3. Karya beliau dari Kementrian PUPR untuk sepak bola sudah terbukti dengan menyiapkan infrastruktur stadion dan akses jalan serta fasilitas lainnya bagi kepentingan Piala Dunia U-20 nanti.
Setelah dua kali mendukung ER dan Ibul, namun PSSI tidak juga memperlihatkan tanda-tanda kemajuan dan perubahan signifikan bahkan semakin hancur, maka saatnya bagi Jokowi untuk menuntaskan janjinya bagi masyarakat sepak bola. Sepak bola harus berubah total, dan terjadi reformasi menyeluruh, sebelum usai masa tugas Jokowi tahun 2024.
Sebelum lengser tahun 2024, Jokowi harus memastikan bahwa sepak bola sudah sesuai dan berada di jalur yang benar, karena diurus oleh orang yang tepat dan sesuai pula. Sudah ada dua “buah tangan” Jokowi di sepak bola saat ini yang cukup menghibur masyarakat sepak bola. Pertama Inpres No 3, dan kedua Indonesia bakal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 tahun depan.
Akan tetapi, dua legacy Jokowi di sepakbola ini, tidak ada manfaatnya bagi kemajuan sepakbola ke depan, bila organisasi PSSI masih hancur-hancuran. Bukan tidak mungkin, Jokowi akan disebut sebagai Presiden yang menjadikan sepak bola sebagai pencintraan semata, kalau sampai PSSI tidak dibenahi tuntas sebelum usai masa tugasnya empat tahun mendatang. Jokowi jangan sampai hanya bisa menebar PHP (pemberi harapan palsu) bagi sepak bola Indonesia.
“Bagaimana aku bisa menjanjikan semua ini, tetapi tidak yakin dapat menepatinya?”
Kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di tahun 2010 menginginkan sepakbola Indonesia menjadi macan Asia pada lima tahun ke depan (dihitung mulai tahun 2010), kini tinggal catatan sejarah. Maka, Jokowi pun akan meninggalkan catatan sejarah yang sama, bila tidak berhasil mereformasi total PSSI, seperti janjinya di tahun 2016. Bagaimana Pak Presiden, sepak bolanya...?!