Tetapi, saya dan kita semua yang mengagumi Maradona dan sepak bola sebagai satu-kesatuan, kaget bercampur rasa duka yang mendalam ketika hari Rabu, 25 November lalu, mendengar berita duka, pergi untuk selamanya, sang legenda Maradona. Maradona dipanggil Bapa di surga (begitulah menurut imannya) karena mengalami serangan jantung di kota Tigre, Argentina.

Kembali ke Milan, stadion berkapasitas lebih dari 80.000 penonton itu menjadi saksi bisu sekaligus saksi sejarah takluknya Argentina sebagai juara bertahan di tangan “anak bawang” dari Benua Arfrika, Kamerun di partai pembuka. Sebuah gol sundulan Francois Omam Biyik di menit ke-67 mendatangkan duka yang dalam tidak saja bagi Argentina yang dipimpin Maradona, tetapi juga puluhan ribu pendukungnya di stadion, dan tentu saja jutaan lainnya di dunia. Argentina, atau lebih tepatnya Maradona menyerah pada Kamerun di partai pembuka, 0-1.

Dengan gontai dan lesu, Maradona bersama rekan-rekannya melangkah meninggalkan stadion. Sementara sebagian besar pendukungnya masih duduk terpaku, tidak percaya bahwa tim kesayangannya, Argentina yang begitu perkasa empat tahun sebelumnya di Meksiko, ketika menjadi juara, dipermalukan Kamerun, wakil Afrika yang baru pertama kali berlaga di ajang bergengsi tersebut.

Sang pembunuh raksasa The Indomitable Lions, julukan bagi Kamerun, sebetulnya tidak saja meraih kemenangan bersejarah, tetapi juga memberi sinyal jelas kepada Maradona bahwa kali ini Argentina harus lebih mewaspadai lawan-lawannya. Impian Maradona untuk membawa Argentina dua kali berturut-turut mencapai partai puncak final dan juara, bisa musnah jika tidak hati-hati di pertandingan berikutnya.

Tetapi Maradona tetaplah Maradona. Dia adalah pemain jenius, sang orkestra yang sulit dicari tandingannya ketika memimpin 10 rekan lainnya di lapangan hijau. Sinyal bahaya yang ditebarkan Kamerun, dijawab positif oleh Maradona dan Argentina di penampilan barikutnya dengan luar biasa. Di bawah komando Maradona, Argentina melangkah ke final dengan antara lain, menyingkirkan tuan rumah Italia di semifinal lewat drama adu penalti di Napoli.

Saat itu yang terasa di lubuk hati paling dalam Maradona adalah perasaan suka bercampur duka. Di Stadion San Paolo itulah dan di kota Napoli-lah, Maradona telah mengharu-birukan emosi masyarakat Italia, khususnya, dan dunia. Bersama klub kebanggaan kota dari selatan Italia itu, Maradona menghadirkan dua gelar Seri A bagi Napoli, satu gelar Piala Italia dan satu gelar Piala UEFA.

Akan tetapi, hari itu, semua kenangan indah terhadap Maradona bersama Napoli terkubur dalam-dalam di sanubari masyarakat Napoli. Untuk sesaat, Napoli dan Italia dirundung kesedihan karena “ulah” Maradona. Seakan menyadari perasaan duka mendalam dari orang-orang kesayangannya di Napoli, Maradona tidak merayakan kemenangan timnya ke partai puncak. Dengan langkah perlahan, tanpa emosi berlebihan, Maradona meninggalkan lapangan menuju ruang ganti.

Semua itu diawali, ketika tendangan penalti gagal dilesakkan Aldo Serena ke gawang Argentina. Sontak seisi stadion yang dipenuhi mayoritas pendukung tim Italia, meratap sedih kekalahan Salvatore Schillaci dan kawan-awan. Italia menyerah, 3-4.

Bahkan, di ruang pers di stadion, tempat di mana saya dan puluhan wartawan Indonesia dan dunia yang meliput langsung, menyaksikan bagaimana para sukarelawan yang kebanyakan terdiri dari gadis-gadis muda belia, menitikan air mata. Para sukarelawan inipun melakukan “mogok sesaat” meratapi kekalahan tim Azzurri. Sekitar setengah jam semua aktivitas di ruang pers terhenti.

Ya, Maradona adalah pujaan klub Napoli dan kebanggaan kota yang berpenduduk sekitar tiga juta orang. Tetapi, hari itu, Maradona hadir sebagai sosok algojo yang mendatangkan maut dan kedukaan begitu mendalam bagi Italia. Di kandang sendiri, tim kebanggaan mereka, Italia disingkirkan secara terhormat oleh Maradona, orang yang selama ini tidak saja mereka tetapi seluruh dunia mencintai, menyanjung dan memuja lewat aksi-aksi briliannya di lapangan hijau.

Lagi-lagi Bertemu Jerman

Selangkah lagi Maradona mewujudkan impiannya sebagai satu-satunya pemain yang dua kali berturut-turut membawa negaranya menjuarai Piala Dunia. Argentina dipastikan menghadapi Jerman di final di Stadion Olimpiade, Roma, 8 Juli. Jerman adalah lawan yang disingkirkan Maradona dan Argentina di final empat tahun sebelumnya di Meksiko lewat sebuah pertarungan dramatis. Saat itu, di Stadion Azteca, Argentina lebih dulu memimpin 2-0, tetapi bisa disamakan Jerman, 2-2 lewat gol Karl-Heinz Rummenige dan Rudy Voeller. 

Namun, saat itu Argentina adalah Maradona. Dan, lewat aksi sihir Maradona dengan sebuah umpan brilian dan terukur kepada penyerang Jorge Burruchaga lewat serangan balik, Argentina akhirnya memupuskan harapan Jerman. Tim “Panser” takluk, 2-3.

Tekad bulat memperbaiki kesalahan di partai pembuka berkecamuk di sanubari setiap pemain Argentina, tentu tidak terkecuali sang kapten Maradona. Di Stadion Olimpiade Roma, Maradona harus menuntaskan “dendam” kekalahan memalukan dari Kamerun di San Siro kepada Jerman (Barat) yang dipimpin kapten Lothar Matthaeus.

Ternyata kesuksesan Maradona, hanya terjadi di kota Napoli, tetapi tidak di Milan atau Italia. Kekalahan di Milan, terulang lagi di Roma, ketika tendangan penalti bek Jerman, Andreas Brehme merobek gawang Argentina yang dikawal kiper Sergio Goycoche mengantar Maradona dan Argentina pulang dengan tangan hampa.

Piala Dunia 1990, belum menjadi perjalanan terakhir Maradona bersama timnas Argentia. Empat tahun berikut, Maradona bersama Argentina di bawah pelatih Alfio Basile masih mencoba kembali bangkit di Piala Dunia Amerika Serikat (AS) 1994. Akan tetapi, kali ini nasib Argentina dan lebih khusus Maradona sangat tragis lagi.

Setelah tampil dua kali, Maradona kemudian diminta menjalani tes doping. Hasilnya, dia posistif menggunakan efedrin (obat penurunan berat badan). FIFA akhirnya mengirim pulang Maradona lebih awal. Argentina pun gagal mencapai final, dan memberi jalan bagi Brasil dan Italia bertemu di partai puncak.

Tidak berhenti di situ hukuman bagi Maradona. FIFA juga memberi hukuman lain bagi Maradona, yaitu 15 bulan tidak boleh aktif di sepak bola. Pemain yang membela timnas Argentina sebanyak 91 kali dan mencetak 34 gol ini akhirnya membanting stir menjadi pelatih.

Gemilang dan memesona di lapangan, tetapi Maradona terjerumus dalam kehidupan pribadi yang menenggelamkannya. Sejak awal tahun 1980-an, Maradona telah terlibat akrab dengan mengkonsumsi narkoba, atau obat terlarang. Di sinilah awal Maradona menambah sebuah predikat baru dari pengagumnya. Kalau tadinya seluruh dunia mencintai, dan memujanya, dunia pun kemudian menyesali pilihan Maradona untuk bergaul erat dengan obat terlarang.

Akibat sulitnya melepaskan diri dari ketergantungan makai obat terlarang, Maradona mengalami komplikasi berbagai penyakit. Dia divonis mengidap pembekuan darah di otak, dan terpaksa menjalani operasi. Dia juga divonis gagal jantung.

Gol “Tangan Tuhan”

“Kita akan bermain bola bersama di surga”. Kalimat pendek tetapi bermakna dalam dilayangkan seorang Pele (Brasil) kepada Maradona di hari terakhir kepergiannya, Rabu, 25 November lalu. Bagi Pele, Maradona adalah pesaing kuatnya, tetapi juga orang sangat dikaguminya meski tidak pernah berdua bermain bersama, atau berhadap-hadapan.

Sebagai pemain dengan talenta yang begitu hebat di lapangan, Pele menyadari betul bahwa Maradona tidaklah berada di bawahnya dalam urusan bermain bola. Bagi Pele juga, kalimat singkat di atas menandakan bahwa pemain sekelas Maradona dengan skill mengocek bola yang begitu lihai, sudah sulit dicari tandingannya di dunia yang fana ini.

Untuk itulah, Pele tidak segan-segan menitipkan pesan buat Maradona bahwa keduanya memang tidak pernah bermain bersama di dunia, tetapi pantas bermain bersama nanti di surga. Bagi Pele juga, pemain-pemain sekaliber dirinya dan Maradona sangat wajar hanya bisa menemukan lawan sepadan di surga, dengan harapan sepak bola dimainkan di sana.

Bagi dunia, Maradona adalah sosok yang berjasa besar menghilangkan sekat-sekat perbedaan politik. Tahun 1986, dunia sesaat melupakan perang empat tahun sebelumnya yang melibatkan Argentina dan Inggris untuk memperebutkan kepulauan (yang oleh Argentina disebut) Malvinas, ketika kedua tim bertemu di ajang Piala Dunia Meksiko.

Maradona pun membungkus dan mendandani pertandingan itu dengan aksinya yang memukau melewati enam pemain Inggris sebelum mencetak gol. Bahkan, sebelum aksi gemilang itu, Maradona telah mengawalinya dengan sebuah “gol tangan Tuhan” yang akhirnya membawa Argentina menyingkirkan Inggris dengan skor 2-1.

Suka atau tidak suka, Maradona saat itu telah mengobok-obok emosi dunia dengan gol “tangan Tuhan” tersebut. Tidak saja kritik bahkan cacian diarahkan kepada sang maestro karena ulahnya yang mengingkari fair play, tetapi sebaliknya tidak sedikit pula yang memuji dan mengaguminya.

Bagi Maradona, momentum sepersekian detik di depan gawang Inggris yang dikawal kiper Peter Shilton itu telah digunakannya secara optimal untuk meraih keuntungan bagi Argentina. Dan, benar saja, wasit tidak melihat tangan kiri Maradona yang telah mengirim bola ke gawang Inggris.

Pele dan Maradona adalah dua sosok pesepak bola dunia yang sepanjang masa akan melahirkan kontroversial tentang siapa yang terbaik di lapangan hijau. Dan, untuk menghentikan atau minimal mengurangi kontroversial itu, Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) di tahun 2000 memutuskan menobatkan Maradona dan Pele sebagai Pemain Terbaik Abad Ini.

Maradona tidak saja milik keluarganya, atau negaranya, tetapi sudah seperti warisan dunia. Tidak salah kalau, dua bintang melenia saat ini, Christiano Ronaldo dan Lionel Messi mengucapkan belasungkawa dengan dua kata: Sang abadi.

Maradona adalah sang abadi. Fisiknya boleh pergi untuk selama-lamanya meninggalkan kita semua lebih dulu, tetapi tidak karya-karyanya dalam mengocek bola di lapangan. Dan hampir dipastikan, gol “tangan Tuhan” akan menjadi warisan Maradona. Kini, dengan adanya VAR (video assistant referee), maka semua kesalahan atau kecurangan yang dilakukan pemain bisa terdeteksi dan dianulir.

Bagi Messi, berjuta-juta tahun bermain bola, tidak akan membawa dirinya mendekati kehebatan seniornya Maradona. “Saya tidak akan pernah bisa mendekatinya. Dia adalah yang terbaik dari pemain bola yang pernah ada,” ujar Messi.

Maradona dan Messi adalah dua pesepak bola asal Argentina yang dibekali talenta bermain bola yang luar biasa. Dan, dari sisi fisik, kedua mega bintang ini tidak berbeda jauh dari pemain-pemain kita di Indonesia. Messi memiliki tinggi badan 169 cm. Maradona lebih pendek lagi, hanya 165 cm tinggi badannya.

Christiano Ronaldo (Portugal) yang tidak sedikit pula penggemarnya, mengatakan, cara mengolah bola Maradona di lapangan hijau bukanlah tindakan seorang manusia normal dalam arti positif. “Dia itu penyihir yang tidak tertandingi di lapangan,” tegas Ronaldo tentang pemain kelahiran Lanus, Argentina, 30 Oktober 1960 itu.

Kehebatan Maradona di lapangan pernah dirasakan pemain kita saat bertemu Maradona yang membela Argentina di Piala Dunia U-20 di Tokyo, Jepang tahun 1979. Saksi hidup pemain kita itu, antara lain, David Sulaksmono dan Bambang Nurdiansyah. Timnas U-20 Indonesia kalah 0-5, dan dua gol Argentina dicetak oleh Maradona.

Perjalanan karier Maradona mulai benar-benar menyita perhatian dunia, ketika ia memperkuat Napoli, Italia tahun 1984-1991. Namun, sebelum ke Napoli, dua tahun Maradona beraksi bersama Barcelona (1982-1984). Aksi-aksi gemilang dan memukau Maradona akhirnya memberi sejumlah gelar bergengsi bagi Napoli, kemudian dilanjutkan di beberapa klub lainnya.

Dari Napoli, Maradona mampir satu musim memperkuat Sevilla, Spanyol di La Liga. Hanya satu periode, Maradona kemudian kembali ke Argentina membela klub lokal, Newell”s Old Boys. Masih di Argentina, Maradona menyeberang dari Newell”s Old Boys ke Boca Juniors dari tahun 1995-1998. Terakhir, kariernya sebagai pelatih, Maradona menangani klub Argentina, Gimnasia de la Plata.

Selamat jalan Maradona, selamat jalan sang “dewa” lapangan hijau. Dunia ini mencintaimu, dan tetap mengenang karya-karyamu dalam mengharumkan sepak bola.* (Yesayas Oktovianus, wartawan Kompas, 1983-2016)

VAVEL Logo
About the author