Pesimistis itu muncul bukan karena kita tidak mampu menggelar sebuah event olahraga tingkat dunia, tetapi lebih pada urusan prestasi di lapangan. Asian Games 2018, kita sukses secara penyelenggaraan baik di saat pembukaan maupun penutupan, tetapi tidak di lapangan hijau.
Ukuran keberhasilan sebuah prestasi olahraga adalah di lapangan pertandingan. Dan, berbicara soal Piala Dunia, muncul pertanyaan: “Memang kita bisa berbuat apa nantinya? Pembinaan pemain yunior kita sama-sekali tidak jalan, lalu bagaimana tim kita bisa bersaing di tingkat dunia?”
Bagi PSSI, apapun caranya (dalam arti positif), tim kita harus mencetak prestasi. Untuk itulah, Ketua PSSI, Mochamad Iriawan yang biasa disapa Ibul bergerak cepat menghadirkan sosok pelatih asal Korea Selatan (Korsel), Shin Tae-yong (STY) untuk memoles anak-anak muda kita.
Karya instan mencetak prestasi pun dimulai oleh STY di bulan Agustus, sambil berharap periode waktu sepuluh bulan ke depan, sampai dengan Mei 2021, sebuah tim kebanggaan kita sudah terbentuk.
Bagi pemerintah, lain lagi. Sukses menggelar Asian Games 2018 harus menjadi tolok-ukur untuk bisa lebih sukses lagi menjadi tuan rumah yang baik dan ramah di ranah sepakbola dunia. Apalagi, Piala Dunia U-20 nanti setuju atau tidak, menjadi legacy Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Kalau Presiden RI pertama Soekarno membangun Stadion GBK Senayan sebagai salah satu stadion termegah di dunia tahun 1965, maka Jokowi tercatat sebagai Presiden pertama yang menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia sepak bola.
PSSI dan pemerintah sebagai dua kubu yang sebelum ini saling mengintip dan mencurigai untuk tidak saling mencampuri urusan masing-masing, akhirnya bagaikan dua sejoli yang begitu mesra menatap Piala Dunia U-20.
Pemerintah lewat Menpora Zainudin Amali dan Ibul bahu-membahu membangun tim U-19 dan mempersiapkan masalah non-teknis, antara lain, memperbaiki infrastrukstur di enam kota yang menjadi venues. Perbaikan stadion dan lapangan pendukung serta akses jalan, dipercayakan kepada Menteri PUPR, Basoeki Hadimoeljono.
Pandemi Covid-19
Dalam dua pekan terakhir, muncul keraguan tentang jadi-tidaknya Piala Dunia U-20 dilaksanakan tahun depan. Kegalauan yang mengusik persiapan Indonesia sebagai tuan rumah itu hadir karena beberapa faktor, antara lain, masih tinggi penyebaran pandemi covid-19, Konfederasi Sepakbola Asia (AFC) tidak mencantumkan kegiatan Piala Dunia U-20 di kalender tahun 2021, dan kompetisi profesional (Liga 1 dan 2) di Tanah Air tidak dituntaskan di tahun 2020.
AFC tentu tidak sembarangan merilis kalender kegiatan sepak bola tahun 2021 tanpa jadwal Piala Dunia U-20. Sebagai konfederasi sepakbola Asia, di mana Indonesia menjadi salah satu anggotanya, AFC tidak mungkin mengabaikan kegiatan piala dunia tersebut. Sebelum mencetak kalender, AFC sudah pasti berkomunikasi dengan FIFA untuk mendapatkan dan memastikan semua kegiatan di tahun 2021.
Yang menarik adalah antara PSSI dan pemerintah menjadikan pademi covid-19 untuk kepentingan masing-masing, dan bertolak belakang. Di satu sisi, pemerintah mempersilahkan dilaksanakannya Pilkada di bulan Desember 2020. Sedangkan jauh sebelumnya, di bulan Oktober, PSSI sudah meminta agar kompetisi Liga 1 dan 2 yang tertunda bisa digelarkan lagi, tetapi pemerintah lewat Polri tidak memberikan izin keramaian. Bahkan, sampai dua kali Polri menolak mengeluarkan izin tersebut. Satunya lagi, untuk permintaan PSSI menggelarkan kompetisi di bulan November.
Tidak ada alasan bagi covid-19 untuk meniadakan Pilkada. Akan tetapi, untuk sepak bola, covid-19 hadir sebagai momok yang menghancur-leburkan semua harapan dan kepentingan stakeholder. PSSI harus memutar otak untuk menyelesaikan masalah kontrak dengan sponsor di timnas, dan PT LIB sebagai operator kompetisi kasta tertinggi. Sedangkan pemain, pelatih dan ofisial di tiap klub “berteriak” meminta agar pertandingan segera digulirkan sehingga mereka bisa melihat dapurnya berasap kembali.
Sungguh ironis memang. Pemerintah di satu sisi sangat mendambakan Piala Dunia U-20 terlaksana, tetapi di sisi lain, pemerintah tidak tulus atau sepenuh hati membantu PSSI melaksanakan kewajibannya menggelar kompetisi. Sadar atau tidak, pemerintah telah ikut menghadirkan rasa kurang percaya FIFA kepada Indonesia (baca PSSI), karena ketidakmampuan menyelesaikan kompetisi hanya karena alasan covid-19.
Dan, jika memang demikian, maka kalau sampai FIFA akhirnya menunda atau membatalkan Piala Dunia U-20 tahun depan, maka pemerintah ikut bertanggung jawab dengan pembatalan tersebut. Sepak bola adalah hidupnya FIFA, tetapi nyawa manusia di atas segala-galanya, dan FIFA tidak ingin para pemain terancam nyawanya kalau covid-19 masih menjadi hantu menakutkan di Indonesia saat Piala Dunia U-20 digelarkan.
Dengan segala respek kepada pemerintah, Zainudin Amali seharusnya lebih cepat dan tegas merespons dua kali pembatalan kompetisi Liga 1 dan 2. Amali jangan memosisikan diri di zona abu-abu dalam menyorot persoalan kompetisi tersebut. Dua kali pembatalan jadwal kompetisi sudah jelas karena alasan pandemi covid-19. Kalau memang demikian, bagaimana dengan Pilkada di bulan Desember?
“Siapa bersih kelakuannya, aman jalannya, tetapi siapa berliku-liku jalannya, akan diketahui”.
Sebagai orang pemerintah yang terdepan dalam mengurus olahraga di Republik ini, Amali perlu meyakinkan Presiden (kalau memang tidak sanggup membujuk Kapolri) agar segera menggulirkan kompetisi. Indonesia harus memberikan trust yang nyata kepada FIFA. Perlihatkan kepada FIFA bahwa kita sanggup melaksanakan kompetisi di tengah-tengah ancaman covid-19 dengan aman dan nyaman. Itu kalau pemerintah berani dan punya nyali, sama seperti pemerintah begitu percaya diri akan mengadakan Pilkada.
Mari Berandai
Semua pemangku kepentingan sebaiknya bahu-membahu bekerja keras dari sekarang untuk menggolkan Piala Dunia U-20. Terlalu mahal harganya kalau sampai kegiatan tersebut dibatalkan. Sudah terlalu banyak pengorbanan, baik materi maupun tenaga dan waktu yang dicurahkan demi suksesnya kegiatan tersebut.
Sejauh ini Presiden masih konsisten memperlihatkan kepeduliannya mengawal semua pihak terkait yang diberi tugas dan tanggung jawab menyukseskan Piala Dunia U-20. Sudah beberapa kali Presiden mengajak rapat terbatas dengan mereka, hanya untuk mengetahui perkembangan terkini.
Menpora yang diberi tanggung jawab sebagai Ketua INAFOC (ketua penyelenggara) sampai saat ini belum mengumumkan kepanitiaannya. Akibatnya berbagai persiapan belum terlihat secara nyata di lapangan. Yang paling sederhana adalah kampanye Piala Dunia U-20 ini sangat minim, kalau tidak dibilang kering atau tidak ada.
Padahal, event yang begitu besar karena bakal menghadirkan jutaan turis, sudah harus diberi kelonggaran semaksimal mungkin dalam ruang promosi dan pariwisata. Promosi tidak saja diutamakan di enam kota penyelenggara, tetapi di berbagai kota yang memiliki nilai pariwisata yang tinggi.
Penulis pernah menanyakan masalah kepanitiaan ini kepada Menpora sekitar sebulan lalu. “Panitia belum dibentuk, karena kami masih harus berkoordinasi dengan PSSI dan pihak-pihak terkait lainnya,” kata Amali saat ini.
Namun, jika boleh berandai-andai bahwa Piala Dunia U-20 tidak jadi dilaksanakan tahun depan, maka pertanyaan paling mengemuka adalah, pertama: “Sudah siapkah PSSI mempertanggungjawabkan semua biaya subsidi sebesar Rp 56 miliar dari pemerintah yang bakal diaudit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)”?
Kedua: Pemerintah dalam hal ini Presiden dan Menpora bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk mengoreksi sekaligus memperbaiki kepengurusan PSSI demi menyelamatkan sepak bola ke depan. Sebagai catatan, sudah setahun lebih, Menpora belum memperlihatkan prestasi spektakuler di sepakbola. Padahal, ketika dilantik tahun lalu, Presiden sudah mengingatkan agar perhatikan itu sepak bola, termasuk PSSI.
“Sepak bolanya Pak”. Semoga “perintah” Jokowi yang begitu jelas ini, tidak saja masih terngiang-ngiang di telinga Amali, tetapi diikuti dengan langkah-langkah konkret dan nyata. Termasuk berani merevolusi PSSI. Bila perlu...?!