Lewat kaki kanannya pula, dari titik penalti di menit ke-56, Platini mencetak satu-satunya gol kemenangan “berdarah” bagi kesebelasan dari kota Turin, Italia tersebut atas Liverpool, 1-0. Akibat Heysel Stadium Disaster, atau lebih dikenal dengan Tragedi Heysel tersebut, 39 suporter Juventus meninggal dan lebih 600 penonton mengalami luka-luka, serta berbuntut Federasi Sepakbola Eropa (UEFA) menjatuhkan sanksi berat dan keras berupa larangan bermain bagi semua klub Inggris di semua kompetisi Eropa selama lima tahun.
Tragedi Heysel ternyata bukan menjadi satu-satunya kenangan kelam perjalanan karier Platini di sepak bola, baik sebagai pemain maupun kemudian sebagai pengurus. Gelandang yang bersama Jean Tigana-Alain Giresse-Luis Fernandez disebut-sebut sebagai kuartet terbaik lini tengah tim nasional Perancis di tahun 1980-an itu, kemudian diterpa dengan kasus suap yang mengguncangkan tidak saja reputasinya yang begitu cemerlang ketika sebagai pemain, tetapi juga sepak bola Perancis.
Itu terjadi ketika di tahun 2015, Platini yang menjadi Presiden UEFA terlibat kasus suap. Tentu saja, dunia sepak bola geger dengan berita tersebut. Apalagi, setahun kemudian zone Eropa akan menggelar pesta sepak bola Piala Eropa, dan dimainkan pula di Perancis.
Sungguh sebuah nestapa yang menghantam bertubi-tubi sepak bola Perancis, dan lebih khususnya Platini. Akan tetapi, apakah reputasi dan nama besar Platini ini bisa membuat dia menghindari hukuman UEFA? Atau, minimal, UEFA menunda memproses kasusnya, dan menunggu sampai berakhir Piala Eropa 2016?
Bagi UEFA, kasus suap Platini dan Kejuaraan Piala Eropa adalah dua hal yang berbeda. Urusan Platini adalah urusan internal Federasi Sepak bola Eropa. Sedangkan Piala Eropa 2016 adalah urusan panitia penyelenggara yang sudah dipercayakan kepada Federasi Sepak bola Perancis. Platini kemudian dinyatakan bersalah dan dihukum empat tahun.
Nyaris Sama
Kisah duka Platini dan sepak bola Eropa di atas, nyaris sama dengan kondisi sepak bola kita di Tanah Air saat ini. Bukan rahasia umum lagi bahwa PSSI dalam beberapa dekade terakhir bermegah-megah dengan bungkusan suap-menyuap di berbagai lini kegiatan.
Sebagian pengurus terasnya juga sudah diindikasikan melakukan suap-menyuap atau pengaturan skor, tetapi tidak semuanya bisa dibersihkan oleh aparat kepolisian. Bahkan, ada oknum yang sampai sekarang masih di kepengurusan, dan tetap “dipelihara” untuk mengurus PSSI.
Dalam kondisi inilah, sudah sepantasnya masyarakat sepak bola sangat gerah dan cemas akan masa depan sepak bola Indonesia. Memang terdengar sebagai sebuah guyonan murahan ketika terdengar suara-suara yang meneriakan Kongres Luar Biasa (KLB) lagi. Karena, hampir setiap tahun, PSSI nyaris terus melakukan KLB dan KLB lagi.
Keinginan menggelar KLB lagi karena memang kondisi yang terjadi, kalau tidak dibilang diciptakan, memaksakan untuk memilih ketua dan pengurus baru. PSSI saat ini sudah sangat memprihatinkan.
Di saat tim nasional negara-negara lain memenuhi jadwal atau kalender FIFA untuk international friendly match, timnas senior Indonesia tidak terdengar sama-sekali. Jangankan bertanding, membentuk tim saja tidak ada.
Di dalam negeri, lebih parah lagi, pengurus PSSI tidak mampu menggelar dan menyelesaikan kompetisi strata tertinggi Liga 1 dan 2 di tahun 2020 ini. Salah satu kegunaan melakukan pertandingan persahabatan internasional, yaitu untuk mempebaiki peringkat. Indonesia saat ini di peringkat 173 dunia.
Yang terpikirkan oleh pengurus PSSI, untuk program kerja tahun 2020-2021 adalah Piala Dunia U-20 tahun depan. Yang lainnya silakan minggir dulu. Nanti seusai Piala Dunia 2021, baru dibuka lagi lembaran kerja baru PSSI. Sungguh ironis memang kinerja 15 anggota Exco yang mendapat mandat dan kepercayaan penuh sekitar 86 suara voters di Kongres tahun 2019 lalu untuk memimpin PSSI.
Anggota PSSI dan pemerintah adalah dua elemen terdepan yang bisa melakukan perubahan segera di PSSI. Anggota dapat segera melayangkan mosi tidak percaya, karena ketidakmampuan ketua memimpin PSSI, untuk segera menggelar KLB. Akan tetapi, kondisi saat ini, sangat sulit mengandalkan anggota PSSI untuk melakukan mosi tidak percaya. Banyak alasan untuk keterbatasan anggota mengusulkan KLB.
Yang paling bisa melakukannya dan lebih cepat adalah pemerintah. Merujuk kasus Platini di atas, pemerintah tidak perlu khawatir bahwa ketika terjadi perubahan kepengurus di PSSI dalam waktu dekat ini akan mengganggu persiapan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20.
Saat ini justru, pemerintah yang memegang kendali pelaksanaan Piala Dunia U-20. Itu dikuatkan dengan Keputusan Presiden (Keppres) yang menunjuk Menpora Zainudin Amali sebagai Ketua INAFOC.
Ketua PSSI, Mochamad Iriawan atau akrab disapa Iwan Bule (Ibul) ditunjuk sebagai Ketua Pelaksana Tim Nasional. Bila terjadi perubahan struktur kepengurusan di PSSI sebelum Piala Dunia U-20, maka siapapun yang menjadi Ketua PSSI, otomatis menjadi Ketua Pelaksana Tim Nasional pula. Mengingat jabatan ketua pelaksana itu diberikan berdasarkan institusi dan bukan personal.
Untuk persiapan tim nasional U-19 saat ini yang ditangani pelatih Shin Tae-yong (STY) sudah berjalan sehingga siapa pun ketua dan pengurus baru PSSI akan meneruskan saja sistem yang telah dibangun dan mengikuti apa yang telah dijalankan oleh STY dan timnya. Apalagi, pemerintah telah berkomitmen untuk mendukung penuh semua keperluan, termasuk biaya untuk keberhasilan timnas di Piala Dunia nanti.
Desakan Semakin Kuat
Informasi yang diperoleh penulis, desakan untuk segera melakukan pergantian pengurus di tubuh PSSI semakin kuat mengalir di arus bawah. Unsur mantan pemain, stakeholder, sampai pada voter sangat bertkerinduan melihat adanya perubahan di kepengurusan PSSI, serta masa depan sepak bola Indonesia lebih baik di tangan orang yang tepat.
Bagi komunitas sepak bola, Ibul sudah dianggap gagal untuk memimpin PSSI ke depan. Sudah setahun lewat, di mata mereka, Ibul tidak melakukan perubahan apapun di sepak bola nasional dan PSSI. Harapan dan kerinduan masyarakat sepak bola untuk adanya perubahan ini diletakkan di pundak pemerintah.
Mengharapkan perubahan itu datang dari dalam internal PSSI, sudah sangat sulit karena adanya mafia dan kartel yang sudah begitu kuat cengkramannya. Satu-satunya unsur yang bisa merombak dan melawan kartel di PSSI ini adalah pemarintah. Itu sudah pernah dilakukan Menpora Imam Nahrowi di lima tahun pertama periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Bahkan, dalam salah satu sambutan di pembukaan Kejuaraan Piala Presiden tahun 2016, Jokowi dengan tegas mengatakan: “Bila perlu kita berdiam diri dalam dua tahun, tetapi kemudian bangkit dengan wajah dan kesegaran baru,” tegasnya.
Menpora sebagai kepanjangan tangan pemerintah tidak bisa tinggal diam melihat kondisi PSSI dan sepakbola Indonesia yang terus semakin tidak jelas arah perjalanannya. Menpora tidak bisa lagi hanya berteori dan berbasa-basi. Sudah harus ada sikap dan langkah tegas dari Menpora, dan lebih khusus menyorot PSSI.
Sampai saat ini, Menpora belum melakukan sebuah langkah spektakuler di olahraga, khususnya sepak bola. Padahal, pesan Presiden Jokowi saat melantik Menpora di Istana Negara, Jakarta sudah jelas sekali arahnya. Akan tetapi, sudah setahun lebih memimpin Kemenpora, Zainudin Amali belum melakukan apa-apa buat memperbaiki sepakbola Indonesia, justru sepak bola Indonesia semakin tenggelam dalam ketidakpastian masa depannya.
Semoga Amali tidak turut tenggelam, dan ikut dalam permainan dan orkestra yang digaungkan PSSI.
“Menjadi pemimpin bukanlah sebuah pencapaian, tetapi sebuah kepercayaan dan tanggung jawab”
Inpres No 3 tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Persepakbolaan Nasional (P3N) juga sudah berada di tangan Kempenroa, tetapi langkah-angkah nyata belum nampak ditindaklanjuti Menpora.
Sebentar lagi tahun 2020 berakhir, sedangkan dalam peta jalan Inpres No 3 itu ada amanah yang harus dilaksanakan, yaitu pembangunan pilot project sebagai proyek percontohna untuk pembangunan diklat sepakbola sesuai perintah peta jalan. “Sepak bolanya, Pak?!