Nabon, Benny Moelyono atau yang biasa disapa wartawan dengan sebutan Oom Benny dan Nugraha Besoes atau Kang Nug, begitulah kalau wartawan memanggilnya, terlibat dalam kepengurusan Kardono di tahun 1980-an. Kemudian muncul Dali Tahir di kepengurusan Ketua PSSI, Agum Gumelar di akhir tahun 1990-an sampai awal 2000-an.
Setelah generasi mereka, PSSI tidak lagi mempunyai figur untuk mendekatkan diri dengan dunia luar, khususnya hubungan dengan AFF maupun AFC, atau FIFA sekalipun. Ada Joko Driyono, namun belum banyak membuka jalur komunikasi yang akrab dengan dunia internasional, khususnya kawasan Asia. Indonesia akhirnya lebih banyak hanya mendapat remah-remah kegiatan, dan bukan yang eksklusif.
Dalam kepengurusan ketua PSSI Johar Arifin Husein, Eddy Rahmayadi dan kini Mochamad Iriawan atau biasa disapa Iwan Bule (Ibul), posisi Bidang Luar Negeri ditiadakan. Urusan luar negeri menjadi monopoli dan hak eksklusif ketua maupun Sekjen. Di sinilah awal mula hancurnya bangunan komunikasi dengan dunia luar.
Saat ini, di kepengurusan Ibul pun masih berlanjut, tanpa Bidang Luar Negeri. Tapi, tugas-tugas dan kepentingan luar negeri bukan diambil alih ketua atau Sekjen, melainkan oleh wakil Sekjen. Dan, hanya ada satu alasan untuk itu, mengapa wakil Sekjen yang berperan dalam komunikasi dengan dunia luar, yaitu faktor bahasa.
Nabon Noor, Oom Benny, Kang Nug dan Dali Tahir selain menguasai bahasa Inggris secara aktif dan fasih, juga dibekali dengan pengetahuan sepakbola nasional maupun internasional. Jadilah mereka sebagai wakil Indonesia dan PSSI yang disegani di kawasan Asia maupun ASEAN. Oom Benny, sang pemilik klub Warna Agung, Jakarta bahkan menguasai lima bahasa asing.
Pertanyaannya, siapa berada di balik Indonesia dipercaya menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 tahun depan? Apakah menjadi penyelenggara piala dunia nanti adalah sebuah hadiah cuma-cma dari FIFA. Atau, kepercayaan itu didapat lewat sebuah proses, usaha dan perjuangan yang tidak mudah?
Yang pasti, untuk mendapatkan predikat tuan rumah sebuah event, harus melalui beberapa proses. Dan, yang paling mendasar adalah mengajukan proposal, dan dilanjutkan dengan lobi-lobi yang intensif dan serius.
Layu Sebelum Berkembang
Terlepas dari suka atau tidak suka, sosok yang membawa Piala Dunia U-20 ke Tanah Air adalah Ratu Tisha Destria. Lewat perjuangan Tisha, dan yang kemudian didukung penuh oleh Presiden Joko Widodo dan pemerintah, Indonesia akhirnya mendapat kepercayaan itu dari FIFA.
Tahun 2018 saat sedang berlangsungnya Asian Games di Jakarta dan Palembang, muncul ide dari Tisha yang diperkuat beberapa rekan kerja di PSSI bahwa mereka harus bisa menghadirkan sebuah kegiatan lain yang lebih dahsyat dari Asian Games. Target akhirnya diarahkan ke Piala Dunia U-20 tahun 2021.
Gerak cepat dilakukan Tisha, yang saat itu menjabat sebagai Sekjen PSSI, dan teman-teman mulai dari membikin dan mempersiapkan proposal sampai pada melobi orang-orang di FIFA. Yang terakhir ini, Tisha sangat yakin bisa melakukannya karena dia mempunyai sejumlah rekan yang pernah sama-sama menimba ilmu di badan tertinggi sepak bola dunia tersebut.
Sebagai gambaran, sekitar dua tahun Tisha belajar dan mengambil gelar S-2 untuk bidang Manajemen Olahraga di FIFA Masters. Dan saat ini, beberapa rekan sekolahnya itu memegang posisi strategi di FIFA.
Ketekunan dan keseriusan Tisha dan teman berbuah hasil, ketika dalam biding di Shanghai, China bulan Oktober 2019, Indonesia memenangkan pertarungan atas dua kandidat sekaligus kompetitor lainnya, Brasil, Peru serta gabungan negara Arab Saudi, UEA dan Bahrain. Dengan penawaran biaya penyelenggaraan Rp 12 juta dollar AS (sekitar Rp 170 miliar), serta lobi-lobi yang kuat, Tisha sukses membawa Piala Dunia U-20 ke Indonesia.
Lalu, di manakah Tisha saat ini? Apakah dia masih berada dalam lingkaran orang-orang yang mendapat keperacayaan terlibat menyukseskan piala dunia. Atau sama-sekali tercampakkan? Atau, mungkin lebih tepat, Tisha layu sebelum berkembang...!
Korban Politisasi
Saya telah lebih dari 30 tahun terlibat di sepak bola nasional maupun internasional, dan baru mendengar nama Ratu Tisha saat Eddy Rahmayady memimpin PSSI di tahun 2016. Sebelumnya, nama Tisha tidak santer terdengar di lingkungan pergaulan sepak bola nasional.
Saya juga baru sekali bertemu dengan Tisha di awal tahun 2019 lalu, ketika ada keperluan membicarakan tim nasional U-19 yang saat itu masih ditangani pelatih Indra Syafrie. Selebihnya, saya tidak pernah bertemu.
Namun, sebagai orang yang terus dan selalu memantau persepakbolaan nasional, saya menilai apa yang sudah dilakukan Tisha khususnya dengan membawa gelaran Piala Dunia U-20 ke Tanah Air, harus diapresiasi sebagai sebuah kerja positif bagi sepak bola Indonesia, bahkan bagi nama baik bangsa dan negara.
Terlepas dari persoalan internal di PSSI yang memaksa Tisha mengundurkan diri dari kursi Sekjen sekitar bulan April tahun ini, maka apapun kontroversial yang muncul, Tisha sebetulnya masih dibutuhkan untuk terlibat dalam kepanitiaan piala dunia.
Langkah ini pernah terdengar sekitar empat bulan lalu, ketika Menpora Zainudin Amali ingin menggandeng Tisha untuk bersama-sama duduk dalam kepanitiaan INAFOC. Kebetulan pula, Amali kemudian dipercaya, karena posisi Menpora yang diembannya, sebagai ketua INAFOC.
Namun, info yang didapat penulis, Tisha akhirnya “ditendang” oleh Amali karena adanya langkah-langkah politik yang ikut bermain dalam pembentukan kepanitiaan yang sampai saat ini juga belum terbentuk secara formal.
Boleh dibilang Tisha adalah korban politisasi di sepak bola. Ada deal-deal khusus dari pihak tertentu di tingkat pemerintah dan federasi yang meminta tidak boleh melibatkan Ratu Tisha dan Cucu Soemantri duduk dalam kepanitiaan piala dunia. Penulis telah berusaha menghubungi Amali sebagai Ketua INAFOC untuk mengklarifikasi masalah ini, tetapi tidak mendapat respons.
“...Janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri,
tetapi kepentingan orang lain juga,”.
Tisha, kau yang memulai tetapi kau yang diakhiri demi keegoan dan kepentingan pihak-pihak tertentu. Celakanya, para pemangku kepentingan ini, lebih banyak bersafari dan hanya meningkatkan popularitasnya daripada serius mengurus dan membangun sepak bola menjadi lebih baik.
Padahal sebagai orang yang menguasai lima bahasa asing (Inggris, Spanyol, Perancis, Italia dan Jerman), Tisha memiliki semua kriteria yang dibutuhkan saat ini untuk duduk dalam kepanitiaan piala dunia. Dengan penguasaan lima bahasa asing serta memiliki network yang kuat dengan FIFA, Tisha akan menjadi sosok yang begitu penting, terutama dalam membangun komunikasi dengan FIFA.
Sebetulnya, untuk saat ini dan jangka panjang, Tisha adalah aset penting bagi kepengurusan PSSI dan sepak bola Indonesia. Dia adalah figur yang dapat memainkan peranan yang pernah dilakoni Nabon Noor, Oom Benny, Kang Nug dan Dali Tahir. Tetapi, apa daya, Tisha hanya seorang yang saat ini hanya sebagai Wakil Presiden AFF, posisi yang diperolehnya karena kualifikasi individu, dan bukan karena jabatan institusi atau struktural dari federasi.
Kelemahan dan kekurangan komunikasi PSSI dengan dunia luar pun sudah mulai terasa dalam proses menuju piala dunia tahun depan. PSSI sangat mengurung diri, terutama oleh ketua dan Sekjen yang tertutup, atau lebih tepat menutup dari dari wartawan.
Media officer PSSI untuk piala dunia, Eko Rahmawanto mengatakan, saat ini pihaknya dua kali dalam sepekan membangun komunikasi yang intens dengan FIFA. “Lewat Sekjen, kami selalu berkomunikasi dengan FIFA membahas perkembangan terakhir persiapan piala dunia. Komunikasi itu dilakukan dua kali dalam sepekan,” kata Eko.
Sayangnya, komunikasi yang dilakukan PSSI dengan FIFA ini tidak terekspos keluar, sehingga masyarakat dan terutama insan sepak bola nasional tidak mengetahui persis sudah sajauh mana persiapan Indonesia menggelar hajatan bergengsi tersebut tahun depan.
Mari berharap lebih baik ke depan. Sepak bolanya Pak...!?